Menahan ”Learning Loss” di Masa Pandemi

Oleh: KI SUGENG SUBAGYA (Pamong Tamansiswa di Yogyakarta)

Untuk sementara, sekolah/madrasah dan pemerintah tak perlu berpikir menyelenggarakan pembelajaran tatap muka reguler terlebih dahulu, tetapi bagaimana menyelamatkan anak didik sekaligus menahan ”learning loss”.

Mariam mengajar mata pelajaran Matematika secara daring dalam pembelajaran jarak jauh di ruang kelas yang kosong di SD Negeri 02 Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (2/2/2021). Sebagian guru lebih memilih mengajar di sekolah karena memanfaatkan internet sekolah. Kuota internet dan kepemilikan gawai menjadi persoalan yang dialami guru dan siswa dalam pembelajaraan jarak jauh.

Tidak ada toleransi pembukaan sekolah ketika ancaman pandemi semakin menjadi-jadi. Keputusan tepat ketika pemerintah kembali menunda pelaksanaan pembelajaran tatap muka semester genap tahun pelajaran 2020/2021. Jaminan kesehatan dan keamanan bagi anak didik, pendidik, dan tenaga kependidikan merupakan prioritas yang tidak boleh ditawar. Meskipun demikian, membangun pendidikan berkualitas juga tidak boleh diabaikan. Perlu langkah strategis mitigas learning loos agar kualitas pendidikan tidak semakin terpuruk.

Simulasi Programme for International Student Assessment (PISA) yang disokong Bank Dunia dengan tajuk Simulating the Potential Impacctd of Covid-19 School Closures on Schooling and Learning Outcomes: A Set on Global Estimates terhadap 157 negara pada Juni 2020 menyebutkan hal-hal sebagai berikut.

Dalam skenario menengah, rata-rata anak didik akan kehilangan 16 poin PISA sebagai akibat dari penutupan sekolah/madrasah atau setara dengan kurang dari setengah tahun pembelajaran di suatu negara. Dalam skenario optimistis, anak didik akan kehilangan 7 poin. Dalam skenario pesimistis, anak didik akan kehilangan 27 poin.

Meskipun secara nasional studi yang terkait dengan potensi learning loos bagi anak didik di Indonesia belum pernah dilakukan. Pemetaan situasi dan kondisi pembelajaran jarak jauh secara daring juga belum terinci. Namun, hal ini bukan berarti penurunan kualitas pendidikan tidak akan terjadi. Asumsi yang paling sederhana, apabila proses pembelajaran berlangsung tidak efektif, mustahil hasil belajar berkualitas.

Diksi “learning loos”dapat dimaknai sebagai penurunan kemampuan belajar. Banyak faktor yang dapat menimbulkan learning loos. Kurikulum yang sarat beban, proses pembelajaran yang menjemukan, keterbatasan sarana dan prasarana, guru yang tidak kompeten dan tidak profesional, sumber daya penunjang yang tidak memadai, sistem penilaian pendidikan yang tidak efektif, dan sebagainya. Dalam masa pandemic, learning loos tidak terhindarkan karena gagap pembelajaran daring (online). Penurunan kemampuan belajar pada gilirannya akan berdampak buruk pada kualitas hasil belajar.

Salah satu cara menahan learning loos pada masa pandemi ialah mengefektifkan pelaksanaan belajar dari rumah (BDR) secara daring. Efektivitas pembelajaran secara daring tidak bisa tidak harus dimulai dari pemetaan yang akurat, terutama pemetaan moda belajar. Pengalaman selama ini, beragamnya moda belajar secara daring dan disparitas kualitas dan kuantitas potensi sekolah/madrasah merupakan tantangan yang tidak ringan untuk terselenggaranya pembelajaran daring efektif.

Nuraida (42) membimbing sejumlah anak di Kampung Kebonjukut, Kelurahan Babakan Pasar, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, saat belajar sejenak di tepi Sungai Ciliwung, Kamis (6/8/2020). Belajar di tepi sungai dilakukan guna mencari jaringan internet yang baik untuk pembelajaran daring di tengah permukiman mereka yang padat dan susah jaringan internet. Setelah memperoleh materi pembelajaran, mereka kembali ke rumah Nuraida untuk berteduh dan melanjutkan belajar. Sistem kelompok sendiri terpaksa ditempuh untuk membantu siswa yang tidak memiliki kemampuan ekonomi mengakses internet dan juga memfasilitasi jaringan internet yang baik untuk belajar.

Pembelajaran daring selama masa pandemi tampaknya masih mengabaikan pemetaan moda belajar itu. Setidaknya, belum ada langkah strategis mendeteksi kebutuhan secara komprehensif untuk terselenggaranya pembelajaran daring yang efektif. Sekolah/madrasah cenderung melakukan pembelajaran daring sesuai dengan kemampuan masing-masing guru. Akibatnya, pembelajaran sangat bervariasi dan tidak sesuai dengan potensi dan kebutuhan anak didik. Pemerintah pusat maupun daerah tidak tepat dalam memfasilitasi kegiatan pembelajaran.

Tidak banyak pemerintah daerah yang mampu memfasilitasi pemetaan moda pembelajaran daring. Buktinya, tidak banyak sekolah/madrasah di Tanah Air yang mampu memberikan data akurat moda belajar daring apa yang digunakan sebagian besar anak didik mengakses pembelajaran. Tidak banyak pula sekolah/madrasah yang memberikan moda pembelajaran alternatif bagi anak didik dengan keterbatasan moda belajar yang dimiliki oleh sebagian besar anak didik.

Di beberapa daerah, angka partisipasi anak didik mengakses pembelajaran daring ada di kisaran 80 persen. Bahkan, ada yang sampai 88 persen. Namun, rata-rata nasional angkanya tidak setinggi itu. Laporan yang dihimpun dari sekolah/madrasah menunjukkan di rentang 50 persen sampai 70 persen. Catatan pada Komisi X DPR menyatakan pembelajaran daring hanya bisa diakses secara efektif sekitar 30 persen anak didik.

Mengukur efektivitas pembelajaran secara daring membutuhkan kajian cermat dan mendalam. Selain akses infrastruktur yang berbasis jaringan listrik dan internet, tetapi juga tidak boleh mengabaikan syarat utama pembelajaran efektif.

Soemosasmito yang dikutip Al-Tabany (2017) menyatakan suatu pembelajaran efektif apabila memenuhi persyaratan, (1) presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap pembelajaran, (2) rata-rata perilaku anak didik melaksanakan tugas yang tinggi, (3) ketetapan antara kandungan materi pelajaran dan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan, serta (4) mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.

Jaringan listrik dan internet sangat penting untuk terlaksananya pembelajaran daring. Namun, ada hal lain yang menghambat pembelajaran daring, yaitu faktor ekonomi. Kemiskinan menyebabkan anak didik tidak memiliki gawai. Jikapun memiliki telepon seluler, fasilitas dan aplikasinya tidak mendukung. Kemiskinan juga menyebabkan anak didik tidak mampu membeli kuota internet. Faktor ini diperburuk oleh dampak ikutan, misalnya sinyal tidak baik dan sering terputus, boros kuota internet, dan belajar melalui moda daring mengurangi konsentrasi.

Sementara itu, banyak masalah yang dihadapi guru dan anak didik dalam pelaksanaan pembelajaran secara daring, di antaranya sulitnya berdiskusi ketika pembelajaran sedang berlangsung. Mata pelajaran yang menuntut praktikum laboratorium dan praktik lapangan/bengkel tidak dapat terlaksana. Anak didik kesulitan memahami materi, sementara respons real time oleh guru dan teman sekelasnya tidak mungkin didapatkan. Sebagian besar guru hanya memberikan tugas dan tidak melakukan pembelajaran secara interaktif. Guru menggunakan aplikasi yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya.

Sebenarnya sudah sangat terlambat melakukan mitigas learning loos ketika pembelajaran pada masa pandemi sudah berlangsung dua semester dan melewati dua tahun pelajaran. Meski demikian, dalam kondisi seperti ini lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan sama sekali.

Sekolah/madrasah dengan difasilitasi pemerintah agar segera melakukan pemetaan moda belajar secara daring. Pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya urusan pemetaan ini kepada kepala sekolah/madrasah. Banyak tantangan teknis pemetaan yang tidak mampu diselesaikan oleh kepala sekolah/madrasah tanpa ada fasilitasi pemerintah.

Apabila dalam pemetaan ditemukan data, sebagian kecil anak didik bisa belajar menggunakan moda daring real time (tatap muka melalui aplikasi), sebagian besar bisa menggunakan moda daring tanpa tatap muka, dan sebagian kecil lainnya menggunakan moda luring (luar jaringan), lalu apa yang harus dilakukan sekolah/madrasah? Fasilitas apa yang dapat disiapkan sekolah/madrasah agar semua anak didik terjamin mengakses pembelajaran daring secara efektif? Hal-hal yang demikian yang membutuhkan hadirnya pemerintah untuk mengambil peran.

Rencana pelaksanaan pembelajaran blended (perpaduan) antara daring dan luring tidak mungkin diterapkan untuk seluruh sekolah/madrasah, bahkan tidak mungkin pula untuk seluruh siswa dalam satu sekolah/madrasah. Perpaduan pembelajaran daring dan luring dengan protokol kesehatan yang sangat ketat memerlukan pendanaan yang sangat besar. Bisa jadi tiga kali lipat dari biaya operasional tanpa penerapan protokol kesehatan. Tentu, biaya yang besar itu tidak dapat dibebankan seluruhnya kepada orangtua anak didik.

Orangtua anak didik sangat beragam keadaan sosial-ekonominya. Ada kemungkinan bagi mereka yang berkecukupan secara ekonomi tidak menjadi masalah. Namun, bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, situasi pandemi sudah sangat menyulitkan kehidupannya, apalagi harus ditambah beban biaya perpaduan pembelajaran daring dan luring untuk anak-anaknya. Dalam hal inilah pemerintah harus hadir dengan membawa solusi.

Relaksasi penggunaan bantuan operasional sekolah dan bantuan kuota internet untuk anak didik dan guru merupakan langkah yang patut diapresiasi. Namun, hal itu belum cukup untuk menjamin terlaksananya pembelajaran secara daring yang efektif.

Perlu alokasi anggaran untuk melakukan pemetaan moda pembelajaran daring di tingkat sekolah/madrasah. Perlu tersedia anggaran untuk infrastruktur yang dibutuhkan anak didik dan guru sesuai dengan hasil pemetaan. Perlu pula tersedia anggaran pelatihan guru untuk menyelenggarakan pembelajaran secara daring yang efektif dengan berbagai moda.

Untuk sementara, sekolah/madrasah dan pemerintah tidak perlu berpikir menyelenggarakan pembelajaran tatap muka reguler terlebih dahulu. Berpikirlah bagaimana menyelamatkan anak didik dan sekaligus menahan learning loos agar mutu pendidikan kita tidak semakin terpuruk.

6 Februari 2021

Link: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/02/06/menahan-learning-loss-di-masa-pandemi

Tinggalkan Balasan