Kala Guru Menuntut Sejahtera
Oleh: Anita Dwi Basuki
Gaji para guru non-ASN belum sepadan dan jauh dari kata layak dibanding dedikasi serta beban pekerjaan mereka. Guru harus memutar otak menambah penghasilan. Tak sedikit yang menyerah dan lalu memilih profesi lain yang lebih menjajikan. Guru yang telah berstatus ASN pun belum menjadi jaminan hidup berkecukupan. Kala guru menuntut kesejahteraan, mesti diiringi peningkatan profesionalitas dan kompetensi.
Beban tanggung jawab yang harus dilaksanakan terkadang membuat mereka yang disebut pencerdas anak bangsa harus banyak berkorban. Pengorbanan itu tak hanya soal tenaga maupun pikiran yang mereka curahkan, tetapi juga berkorban terlewatnya waktu terbaik mereka bersama keluarga. Urusan pribadi pun terkadang menjadi terabaikan dan tidak lagi menjadi prioritas.
Kita dapat melihat perjuangan para guru di daerah-daerah yang sangat kurang fasilitas seperti daerah pedalaman ataupun perbatasan. Dengan jarak tempuh dan medan yang harus dilaluli, tentu tak akan terbayang bagaimana kita dapat melakukannya. Rasa lelah dan menyerah tentu saja sempat terlintas di benak mereka. Tanggung jawab nafkah untuk keluarga menjadi sebuah kebimbangan untuk terus berjuang.
Guru identik dengan penampilan bersih dan santun. Namun, di balik kewibawaan itu tak semua selaras dengan pandangan khalayak. Dimana banyak yang menganggap kehidupan guru itu sudah layak dan sejahtera. Guru-guru non-ASN dengan gaji yang belum sepadan dan jauh dari kata layak dengan dedikasi serta beban pekerjaan, tak sedikit membuat mereka memutar otak untuk menambah penghasilan. Bahkan, tak sedikit dari mereka menyerah dan memilih profesi lain yang lebih menjajikan. Guru yang telah berstatus ASN pun belum menjadi jaminan hidup berkecukupan. Seperti celetukan yang mereka ciptakan “Jika ingin kaya, jangan menjadi guru”.
Ibarat lagu Hymne Guru yang telah digubah, guru saat ini bukan hanya seorang pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi menjadi Pembangun Insan Cendekia. Hakikat dari insan cendekia adalah manusia yang cerdas terpelajar yang mengerti akan situasi dan pandai mencari jalan keluar serta cermat dalam memanfaatkan kesempatan. Maka dari itu, guru di era 4.0 itu dituntut menjadi sosok yang cerdas dan update ilmu-ilmu baru agar bisa mengejar modernisasi.
Bagaimana mencapai target itu semua? Tentu saja harus ada finansial yang mendukung untuk melanjutkan study. Jadi, jika ada tambahan kesejahteraan yang diberikan pemerintah untuk mereka, maka bisa dikatakan sangat tepat. Untuk mendapatkan kesejahteraan lebih itu, tentu bukan hal yang mudah untuk didapatkan. Tak sedikit yang mengalami depresi dan kecewa ketika semua tahap berat yang telah dilalui berujung kegagalan.
Ditambah lagi, wacana penghapusan tunjangan profesi guru menjad kabar yang mengkawatirkan untuk para guru yang sedang berproses demi kelayakan hidup dan keprofesionalan ilmu. Ada kepasrahan dalam benak mereka jika kemungkinan terburuk terjadi. Namun, jiwa pendidik yang telah tertanam kuat dalam diri menjadi sebuah kekuatan untuk bertahan. Keyakinan diri bahwa rezeki yang berkah akan lebih memudahkan langkah dalam bertugas meskipun tanpa tanda jasa.
Adapun hal yang membuat para guru itu bahagia adalah ketika ilmu yang ditebar bermanfaat bagi anak didiknya, dikenang ketika telah purna, dan segala doa terbaik selalu dilafadzkan untuk mereka. Namun, akan ada kesedihan dan perasaan gagal ketika anak didiknya belum mampu mencapai ketuntasan. Akankah segala kemuliaan untuk guru menjadikan rasa iri yang dapat diperdebatkan? Karena beban tanggung jawab bagi penerus bangsa tidak bisa dianggap sepele.
Kala guru menuntut sejahtera, maka harus selaras dengan keprofesionalan diri dalam melaksanakan tugas, tidak lalai akan kewajiban, meningkatkan kemampuan profesi secara berkelanjutan, memperluas wawasan yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan menjadikan bakat diri seorang pendidik menjadi sebuah keahlian. Semoga segala bentuk penghargaan untuk para guru dapat memberi keberkahan dan tanda jasa dari segala perjuangan dan keikhlasan sebagai Pembangun Insan Cendekia.
Sumber link : https://www.indonesiana.id/read/160183/kala-guru-menuntut-sejahtera