Tiga Hambatan Sekolah Penggerak
Penulis: Khoniatur Rohmah
Sekolah Penggerak di SMA Al-Mujahidin Gunung Kidul Sekolah penggerak merupakan salah satu program yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim. Tentu saja, untuk menyikapi program ini, tidak terlepas dari problematika jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satu Langkah untuk menelaah dinamika yang terjadi pada program sekolah penggerak melalui diskusi dan pengkajian terhadap program ini.
Tepat pada 1 Februari 2021 lalu, Nadiem Makarim meluncurkan kurikulum sekolah penggerak sebagai acuan sekolah dan guru yang tersebar di 34 Provinsi dan 111 kabupaten/kota. Dalam implementasinya, kurikulum sekolah penggerak banyak menuai kritik dari para pemerhati pendidikan. Setiap terjadi perubahan kurikulum, tentu mendapat dukungan pro dan menuai kontra dari berbagai kalangan.
Fenomena yang wajar di tengah-tengah kegelisahan bagi dunia pendidikan. Dalam penerapan sekolah penggerak banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak seperti kepala sekolah dan guru. Perubahan kurikulum menjadikan guru sebagai salah satu pihak yang terkena dampaknya. Dengan adanya perubahan kurikulum, sekolah penggerak kembali beradaptasi dan memposisikan sekolah dengan beragam program yang telah di anangkan Kemendikbudristek.
Berdasarkan pada undang-undang nomor 20 Tahun 2003 kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana maupun regulasi yang melingkupi tujuan, isi, serta bahan pelajaran. Selain itu, membahas mengenai cara-cara yang dipakai sebagai sebuah pedoman dalam menyelengarakan pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan nasional. Tentu, sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan hingga saat ini, Kemendikbud telah beberapa kali melakukan perubahan kurikulum yang berdampak pada penyelengaraan pendidikan.
Menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru, kurikulum pendidikan memicu kritik bahwa Kurikulum pendidikan dinilai kurang efektif. Dapat berkaca pada kondisi pandemi yang masih menggunakan pembelajaran jarak jauh. Fenomena pergantian kurikulum memang menyulitkan guru dalam mengimplementasinya.
Kurikulum merupakan salah satu pokok dalam proses pembelajaran. Mengingat hal tersebut bukan hal yang sederhana, melainkan menjadi sebuah konsep rujukan bagi para pelaku pendidikan. Kurikulum yang belum dijalankan secara tuntas, tentu akan memicu problematika pada dunia pendidikan.
Salah satunya adalah kurikulum sekolah penggerak, transformasi kurikulum 2013 ke dalam kurikulum sekolah penggerak yang memiliki perbedaan ignigfikan meskipun tidak terlalu jauh. Namun, hal ini cukup berpengaruh bagi jalanya proses pendidkan. Misal, dalam bab V tentang lingkungan budaya lokal yang muncul dalam kurikulum sekolah penggerak , hal ini tentu berakibat pada ketidakoptimalan guru dalam melakukan pembelajaran.
Bukan hanya itu, hadirnya sekolah penggerak memunculkan beberapa poblematika salah satunya yang dialami oleh SMA Muhammadiyah Al-Mujahidin. Sekolah tersebut menjadi salah satu sekolah penggerak yang tidak lepas dari kendala program tersebut. Hal ini ditunjukan oleh adanya kendala berupa buku pegangan guru yang kurang sesuai.
SMA Muhammadiyah Al-Mujahidin yang berbasis Sekolah Muhammadiyah, sehingga sekolah ini menyediakan buku sendiri dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam berpedoman yang buku Al – Islam dan Kemuhammadiyahan. Selain itu, fasilitas rapor yang belum siap oleh kemendikbudristek, sehingga SMA tersebut memutuskan menyusun rapor secara mandiri.
Polemik selanjutnya, terkait platform yang digunakan oleh sekolah penggerak masih disesuaikan dengan kondisi pandemic covid-19. Artinya, di tengah-tengah kondisi pandemi akses digital dan pembelajaran digital menyesuaikan dengan kecepatan akses internet mengingat pembelajaran tatap muka masih dilakukan secara bertahap. Hal ini menimbulkan kecepatan akses digital menjadi salah satu penentu pembelajaran akan berjalan secara optimal atau tidak..
Pernyataan ini menjadi salah satu bukti belum adanya kesiapan dari guru, sekolah, dan Kementerian Pendidikan. Terlihat jelas Kementrian Pendidikan memaksakan diri untuk terlibat dalam sistem ini. Maka, hambatan ini haruslah segera diatasi, dapat dimulai dari kesiapan pemerintah dalam merencanakan sekolah penggerak, kesiapan guru dan sekolah. Agar yang menjadi tujuan dapat berjalan secara optimal sesuai dengan visi program sekolah penggerak yaitu Pendidikan Indonesia mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila.