Oleh: Firman Fatih
“Jangan kau cabut anak-anak dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan mendapatkan orang dewasa yang kekanakan” (Prof. Neil Postman, The Disappearance of Childhood)
Pada periode ini umumnya anak-anak di Indonesia sudah dipaksa menjadi anak yang pintar, dalam artian memahami segala sesuatu yang belum waktunya untuk mereka ketahui, bahkan ada juga yang menjadikan anak-anak sebagai miniatur orang dewasa.
Tak jarang masa perkembangannya direnggut oleh sistem pendidikan yang membebankan. Dari banyak mata pelajaran yang diberikan, dilanjutkan dengan jam pelajaran yang panjang hingga soal ujian yang menakutkan.
Terbukti semua itu lebih mengedepankan ilmu pengetahuan yang secara tidak langsung memaksa anak untuk menjadi pintar. Padahal pintar ada waktunya!
Sejenak kita beralih ke Negara maju dengan sistem pendidikan yang berkualitas dan bermutu tanpa membebankan anak-anaknya dalam hal pendidikan dasar seperti Finlandia dan Jepang.
Di Finlandia, anak-anak baru diwajibkan sekolah setelah menginjak usia tujuh tahun. Sebelum usia tersebut, sekolah merupakan pilihan yang tidak mutlak. Pelajaran di sekolah tak sekedar membaca dan menulis melainkan banyak diselingi dengan kegiatan olahraga dan seni.
Anak-anaknya merasa bahagia karena jam pelajaran yang pendek, PR-nya tidak banyak, dan ujiannya, tidak begitu terstandarisasi dan membebankan siswa-siswanya.
Yang menarik, meski pendidikannya ringan, data UNICEF menunjukkan bahwa anak-anak di Finlandia memiliki kemampuan matematika, membaca, dan sains tertinggi di dunia.
Di sisi lain, sekolah dasar di Jepang, 3tahun pertama pada pendidikan dasar yang paling utama adalah mengembangkan norma dan karakter mereka, bukan menilai dari kemampuan mereka untuk belajar atau tingkat pemahaman mereka tentang pelajaran.
Siswa-siswa akan diajarkan nilai-nilai kehidupan dasar yang penting seperti hormat kepada orang lain dan lemah lembut terhadap hewan dan menghargai alam.
Kedua negara ini sudah terlebih dulu mengedepankan sistem pendidikan yang bermutu dan ramah untuk anak usia dini. Pada hakikatnya kebutuhan anak usia dini adalah bermain sambil belajar karena bermain adalah aktivitas yang menyenangkan.
Dengan bermain anak sekaligus belajar mengatasi konflik, belajar bersosialisasi dan percaya diri. Maka dari itu, penting sekali menciptakan rasa aman dan bahagia di sekitar mereka. Karena perkembangan anak dipengaruhi oleh rasa bahagia yang dirasakannya.
Menjadi Anak Yang Bahagia
Mungkin kita tak pernah menyangka, bahwa rasa bahagia mempengaruhi perkembangan anak. Joe Pinsker dalam buku Why So Many People Aren’t Happy menyebutkan “bahwa salah satu unsur utama kebahagiaan adalah rasa memiliki (sense of belonging)”.
Secara umum anak yang bahagia jarang mengalami sakit. Penting sekali membuat anak merasa bahagia. Menjadikan anak merasa bahagia memang bukanlah hal mudah.
Akan tetapi, Pendidikan Informal (Keluarga), Pendidikan Formal (Sekolah), dan Pendidikan Nonformal (lingkungan) mempunyai peran aktif yang sangat esensial untuk mewujudkannya.
Kebutuhan anak 0-8 tahun adalah bermain dan terbentuknya kelekatan. Secara singkat Julia Maria van Tiel dalam bukunya (Perkembangan Sosial Emosional Anak) mengatakan, bahwa “kelekatan (attachment) adalah salah satu aspek khusus dan terbatas pada hubungan antara orangtua dan anak dalam membangun rasa aman, nyaman, dan terlindungi pada anak. Kelekatan antara orangtua dan anak bagaikan surga keselamatan dan kenyamanan”. happy parents have happy kids.
Itulah sebabnya orang tua tidak seharusnya menuntut anak usia dini untuk menjadi anak yang pintar, anak yang paham akan segala pengetahuan diluar batas kemampuan dan kebutuhannya.
Nilai bukan segalanya, melainkan masa kecil yang bahagia akan terkenang selamanya. Keterlibatan orang tua bukan hanya proses yang statis tapi berlangsung sepanjang waktu dan sangat dinamis.
Selain orang tua, sekolah, anak-anak dan lingkungan sosial juga secara bersamaan memegang peranan penting dalam proses ini. Sebagai generasi mendatang, anak usia dini merupakan aset paling berharga bagi masa depan bangsa. “
Anak yang bahagia adalah investasi terbaik bangsa. Berdasarkan laporan UNICEF mengenai 10 Negara yang memiliki anak paling bahagia di Dunia di antaranya ialah; Belanda, Norwegia, Islandia, Finlandia, Swedia, Jerman, Luksemburg, Swiss, Belgia, dan Irlandia.
Orangtua dan pemerintah punya peranan penting dalam menciptakan situasi dan lingkungan yang nyaman dan aman bagi anak agar terciptanya lingkungan yang bebas dari gangguan fisik, psikis, dan seksual yang bisa merusak moral anak bangsa.” Sepuluh Negara di atas sudah terlebih dulu melakukannya, bagaimana dengan Indonesia?
Sumber bacaan : http://pundi.or.id/pundi/artikel/anak-usia-dini-harus-menjadi-anak-yang-bahagia-bukan-anak-yang-pintar