Hybrid Learning

oleh : AMK Affandi

Hari ini, Senin, 11 Oktober 2021, sekolah kami, SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan methode hybrid learning. Pembelajaran kombinasi antara tatap maya dengan tatap muka. 50 persen dengan tatap muka dan 50 persen dengan tatap maya. Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), mestinya dua minggu yang lalu dari yang direncanakan. Tetapi karena sekolah masih menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), akhirnya kami terpaksa harus mundur demi kesehatan bersama.

Pembelajaran Tatap Muka, masih mengacu pada prokes ketat, seperti jarak minimal satu setengah meter, pakai masker, cuci tangan, ukur suhu dan lain-lain. Pelaksanaan hari pertama telah berjalan lancar. Karena memang sebelumnya kami telah mengadakan uji coba. 

Methode Hybrid Learning sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Blended Learning. Hybrid learning dilakukan dengan memakai berbagai macam media, dan jumlah siswa mengacu pada fifty-fifty. Separo tatap muka, sementara setengahnya dilakukan online dengan bantuan internet. Sementara pada Blended Learning dilakukan tatap muka langsung di waktu dan ruang yang sama, tapi dengan pembelajaran tidak langsung. 

Ada banyak kesan yang dapat kita peroleh dengan PTM, setelah sekitar dua tahun vakum dengan pembelajaran tatap muka. Dari data yang saya peroleh, ada beberapa guru yang lupa menggunakan LCD, yang sekaligus dihubungkan dengan cara langsung ke internet. Artinya laptop harus memiliki fungsi ganda. Pertama, laptop digunakan untuk presentasi bagi siswa yang ada di kelas, kedua dimanfaatkan untuk online bagi siswa yang ada di rumah. 

Meskipun telah terbiasa menggunakan zoom meeting atau google meet, tapi karena alat peraga (laptop) harus difungsikan ganda, ada kebingungan tersendiri. Apalagi telah lama tidak mengajar secara langsung. 

Kedua, siswa yang berada di rumah masih memiliki kesan bahwa pembelajaran masih seperti sedia kala, yaitu dengan cara online. Tapi siswa lupa bahwa pada saat yang sama ada teman-teman yang belajar secara langsung di kelas. 

Ketiga, beberapa bapak dan ibu guru mungkin lupa bahwa pembelajaran berlangsung dua tempat. Di kelas dan di rumah. Ada pembelajaran telah berjalan beberapa menit, tapi lupa tidak menghidupkan video atau audio. Akibatnya anak-anak yang di rumah kesulitan menangkap materi pelajaran secara sempurna. 

Secara teknis, sarana untuk pembelajaran dengan model hibryd belum sempurna. Jaringan wi-fi yang masih belum lancar, peralatan LCD yang sudah tidak cerah lagi, kabel-kabel pendukung sarana online dan presentasi. Penanganan sarana dan prasarana ini, tentu tidak mudah untuk diujudkan segera. Waktu 2 tahun bukanlah masa yang pendek. Mungkin perawatan alat-alat sedikit terabaikan, karena hampir semua orang konsentrasi pada kesehatan agar tidak terpapar covid-19. 

Akhirnya kelegaan terpancar pada setiap siswa. Mereka dapat berjumpa lagi, atau mereka baru pertama kali bertemu dengan teman sekelas. Bapak ibu gurupun mungkin sudah tidak begitu ribet menyiapkan pembelajaran online. Rindu mengajar secara tatap muka. Demikian pula harapan orangtua, agar putra-putrinya dapat belajar langsung dengan gurunya. 

 

Tinggalkan Balasan