Penulis : Fika Agustin Ningsih, Anggita Dewi Mithasari
Pendidikan menjadi salah satu kunci kemajuan dari suatu bangsa. Pendidikan yang baik akan menghasilkan generasi yang baik, begitu pula sebaliknya, pendidikan yang kurang baik menghasilkan generasi yang kurang baik.
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan kegiatan pembelajaran supaya siswa secara aktif dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Namun di dalam pendidikan terdapat yang namanya proses pembelajaran. Di dalam kegiatan pendidikan yang ada selama ini belum bisa mewujudkan sesuai dengan apa yang tertera dalam undang-undang tersebut.
Lembaga pendidikan yang ada di negara ini lebih memfokuskan peserta didik pada nilai kognitif. Padahal tujuan pendidikan yang tertera dalam undang-undang tersebut untuk bisa menciptakan peserta didik yang unggul dalam nilai kognitif, efektif, dan psikomotoorik.
Akan tetapi proses pembelajaran yang terjadi pada sistem pendidikan di negara kita masih terfokus kepada guru. Guru menyampaikan materi kepada peserta didik kemudian peserta didik diminta untuk bisa menerima, menghafal dan mengulangi materi tersebut.
Praktek pembelajaran yang terjadi hanya sarana pewarisan ilmu, tanpa memperdulikan tentang bagaimana proses pendewasaan pemikiran yang dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan dengan praktek tersebut, oleh seorang ilmuwan yang bernama Paulo Freire menyebut Pendidikan Gaya Bank (Banking Education).
Menurut Paulo sistem pendidikan gaya bank mengibaratkan pendidikan sebagaimana kegiatan menabung, di mana peserta didik sebagai tabungan dan guru sebagai penabung.
Ciri yang paling mendasar untuk mengetahui, bahwa sistem pendidikan itu memiliki pendidikan gaya bank atau bukan, yaitu pada pendidikan gaya bank guru dianggap sebagai orang yang mengetahui segalanya sedangkan peserta didiknya tidak mengetahui apupun.
Sehingga dalam kegiatan pembelajaran para peserta didik menjadi bersifat pasif sedangkan guru bersifat terlalu aktif. Apabila sebuah lembaga pendidikan memiliki logika ini dalam proses pembelajarannya, sudah tentu lembaga tersebut menerapkan pendidikan ke arah gaya bank.
Guru bertindak sebagai subjek, sedangkan peserta didik hanya bertindak sebagai objek yang berarti apapun yang dilakukan oleh peserta didik semuanya sudah ditentukan oleh guru.
Peserta didik tidak diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk berdialog atau berinteraksi dengan guru untuk bisa memiliki kemandirian dalam berpikir dan kritik sosial.
Sistem pembelajaran di era society 5.0 atau era pembelajaran abad 21 ini seharusnya pendidikan gaya itu sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Proses pembelajaran yang digunakan sudah harus terfokus pada peserta didik, guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
Guru memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Guru membiarkan para peserta didik untuk bisa menjadi dirinya sendiri yang tujuannya agar peserta didik bisa mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Seperti sebuah kalimat yang di ucapkan oleh Paulo Fierie, bahwa “guru merupakan sebuah seniman, tetapi guru menjadi seniman sebab dalam guru mengajar itu memiliki seni, guru mengajar bukan berarti guru bisa membentuk profile bentuk dari peserta didik. Tetapi apa yang dilakukan oleh guru dalam mengajar adalah membuat kemungkinan bahwa para peserta didik itu dapat menjadi dirinya sendiri (peserta didik dapat berkembang sesuai dengan potensinya sendiri)”.
Untuk itu diperlukan sistem pendidikan yang membebaskan. Sistem pendidikan yang membebaskan, merupakan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai humanisme, yaitu memposisikan manusia sesuai kemuliaannya sebagai manusia.
Dalam proses pendidikan, nilai humanisme ini berarti menempatkan peserta didik sebagai sebagai subjek pendidikan (peserta didik sebagai pelaku pendidikan). Adanya pendidikan itu untuk kepentingan manusia bukan manusia untuk kepentingan pendidikan.
Sistem pendidikan yang diberikan kepada peserta didik harus dekat dengan kehidupan dari peserta didik. Selain itu, sistem pendidikan juga harus bisa mengoptimalkan potensi dan kreativitas dari masing-masing peserta didik. Hal ini dikarenakan setiap diri dari peserta didik memiliki kompetensi atau kemampuan yang berbeda-beda.
Peserta didik seharusnya diberikan materi yang sesuai dengan fashion yang dimiliki oleh peserta didik. Sistem pendidikan tidak boleh mengukur tingkat keberhasilan dari peserta didik dalam satu acuan pada satu bidang saja, tetapi harus disesuaikan dengan acuan pada masing-masing bidang keilmuwan.
Ada peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi di bidang kognitif, tetapi rendah dalam kemampuan psikomotori. Ada juga peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang psikomotori, namun rendah pada bidang efektif, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, sistem pendidikan harus bisa berorientasai pada seluruh bidang yang ada dalam pendidikan. Agar terciptalah sebuah sistem pendidikan yang berkualitas. Sebab apabila sistem pendidikan memiliki sistem yang berkualitas maka akan menghasilkan menghasilkan generasi yang berkualitas juga.
Sumber link : http://pundi.or.id/pundi/artikel?post=322