oleh : Andi Gunawan
Our only limitations are those which we set up in our minds or permit others to establish for us ? Elizabeth Arden
Saya mendapat banyak email menanggapi artikel saya sebelumnya yang berjudul “Born to be a Genius but conditioned to be an Idiot”. Banyak yang bertanya lebih lanjut dan berdiskusi mengenai topik ini.
Pertengahan bulan Februari 2006 ini saya diundang berbicara di hadapan sekitar 2.000 orangtua, murid, dan guru. Kembali saya menekankan bahwa sebenarnya kita terlahir dengan potensi menjadi seorang jenius. Meskipun demikian tetap ada yang skeptis dan meminta penjelasan lebih lanjut.
Para pembaca, tahukah anda bahwa seorang manusia, saat dilahirkan, telah memiliki sekitar 100 miliar sel otak aktif dan 900 miliar sel otak pendukung? Total “bekal” kita saat nongol di bumi adalah sekitar 1 triliun sel otak. Dan Tuhan Maha Adil dan Maha Penyayang. Semua anak manusia dibekali dengan jumlah sel otak yang sama. Tidak ada diskon dan tidak ada bonus.
Bandingkan dengan siput yang hanya memiliki 8 sel otak, lebah 7 ribu sel , lalat buah 100 ribu sel , tikus 5 juta sel, dan monyet 10 miliar sel otak. Hewan-hewan ini, dengan jumlah sel otak yang jauh di bawah yang dimiliki manusia, ternyata menunjukkan kecerdasan yang luar biasa.
Ambil contoh lebah. Lebah, hanya dengan bekal 5 ribu sel otak, mampu mencari madu, tidak perlu menggunakan peta atau kompas, mengerti hirarki tugas dan tanggung jawab, dan dapat hidup akur dalam satu koloni. Luar biasa bukan? Bagaimana dengan manusia?
Untuk lebih memudahkan saya menjelaskan maksud saya, mengenai kejeniusan kita, maka saya akan menggunakan analogi komputer. Maksudnya, otak kita saya ibaratkan seperti komputer.
Saat kita dilahirkan, secara hardware, sebenarnya perangkat keras kita kurang lebih sama. Kalau ada bedanya maka yang berbeda adalah kecepatan processor-nya. Dalam artikel ini saya hanya akan membahas otak manusia normal. Saya tidak membahas yang mengalami kerusakan otak atau kalau dalam istilah komputer ada yang bad sector.
Kecepatan processor setiap orang mungkin berbeda. Katakanlah ada yang Pentium 4, 3 GHz. Ada juga yang kecepatannya 2,7 GHz, 2,5 GHz, atau sekitar 2 GHz. Meskipun secara basic kecepatannya berbeda namun bila kita gunakan untuk menjalankan program, maka semuanya bergantung pada Operating System yang kita gunakan. Kecepatan proses memang akan sedikit berbeda namun hasil akhirnya sama. Misalnya kita mengetik menggunakan MS-Word. Tidak jadi masalah berapa kecepatan processor-nya, toh, ujung-ujungnya kita bisa menyelesaikan kerja kita dengan baik.
Yang kecepatan processor-nya tinggi ini yang kita kenal dengan anak-anak yang cemerlang atau berbakat. Kalau untuk ukuran sekolah maka anak ini masuk kategori anak dengan kemampuan akademik tinggi atau jenius.
Lalu bagaimana dengan yang kecepatan processor-nya agak rendah? Sabar dong. Saya akan jelaskan setelah pesan-pesan berikut.
Saat kita lahir, kita dibekali dengan beberapa program dasar, semacam BIOS. Kalau merujuk pada ilmu psikologi, khususnya pemikiran Piaget, maka program dasar ini disebutĀ schema. Selanjutnya, kita menggunakan schema untuk berinteraksi dengan lingkungan, danĀ kita mulai mengembangkan diri kita. Kita mulai “meng-install” program-program untuk menjalankan komputer mental atau Neck-Top Computer kita.
Nah, program-program ini, khususnya program yang menjadi Operating System/OS, akan menentukan seberapa maksimal kerja komputer mental kita. Bisa anda bayangkan bila Pentium 4 dijalankan dengan DOS 3.0 atau Windows 95. Semakin canggih OS yang digunakan sudah tentu akan sangat maksimal kinerja perangkat komputer kita, bukan?
Bagaimana dengan kapasitas hard disk/memori kita? Nggak usah khawatir. Kita dibekali dengan hard disk yang sangat besar kapasitasnya. Majalah Scientific American, edisi November 2005, memuat satu artikel mengenai hasil penelitian terkini mengenai kapasitas otak dalam menyimpan informasi. Untuk bisa mengisi penuh hard disk otak maka kita harus belajar satu hal baru setiap detik selama 30 juta tahun. Benar, anda tidak salah baca, selama 30 juta tahun.
So, sejauh ini anda pasti sudah haqul yaqin bahwa secara hardware kita memang luar biasa. Kita punya potensi untuk menjadi jenius. Saya katakan “potensi”, bukan “pasti jenius”. Why? Karena semua kembali kepada OS yang terpasang di komputer mental kita. Inipun dengan syarat bahwa komputer mental kita tidak terkena virus. Kalau sudah terkena virus kinerjanya akan menurun drastis. Komputer akan bekerja sangat lambat, sering restart sendiri, dan hang. Hang kalau dalam konteks sekolah adalah anak mogok belajar.
Beberapa waktu lalu saya menangani dua orang kakak beradik. Si kakak, IQ-nya 130, namun sudah dua kali tidak naik kelas. Saat itu ia duduk di kelas 2 SMU swasta top di Surabaya. Akibatnya? Harus out, dan pindah sekolah lain. Adiknya juga mengalami problem yang sama. IQ adiknya 135 dan sudah hampir dikeluarkan karena masalah disiplin dan pelanggaran tata tertib sekolah. Prestasi akademiknya? Biasa-biasa dan cenderung rendah.
Kemarin, kembali saya diminta menangani anak SD kelas 6. Anak ini, sebut saja Angga, memiliki IQ superior (pada kisaran antara 131 ? 140). Apa problemnya? Angga punya masalah di bidang studi matematika. Untuk pelajaran yang lain nilainya sangat tinggi. Namun khusus matematika, nilainya hanya sekitar 4 hingga 7 saja.
Saat pertama kali bertemu saya bertanya, “Angga, apa kesan yang muncul di pikiran Angga saat mendengar kata matematika?”. “Nggak suka, Pak”, jawabnya cepat dan mantap. “Mengapa nggak suka?”, kejar saya lagi. “Pokoknya saya nggak suka”, jawabnya singkat.
Saya lalu menjelaskan kepada ibunya Angga, yang kebetulan kawan dekat saya, bahwa “program” matematika yang ada di komputer mental anaknya telah terinfeksi virus dan harus segera di”scan” dan di”repair”.
Saya lalu membantu Angga, dengan menggunakan teknik terapi tertentu, men-scan dan me-repair file pikirannya yang kena virus. Hasilnya? Luar biasa. Hanya dalam satu sesi terapi Angga langsung berubah menjadi suka matematika. Ibunya sudah tentu sangat gembira dengan keadaan ini.
Dari sesi terapi ini saya berhasil menemukan bahwa program matematika Angga mulai terinfeksi virus sejak di kelas 3 SD. Bagaimana kejadiannya? Ternyata Angga tidak mengerti apa yang gurunya terangkan. Dan saat ulangan Angga mendapat nilai jelek beberapa kali. Dari sini Angga mulai merasa bodoh di bidang matematika dan tidak suka segala sesuatu yang berbau matematika.
Selanjutnya saya, secara halus, memaksa Angga untuk meningkatkan nilai matematikanya. Caranya? Saya men-set goal dan sekaligus reward yang akan didapat Angga bila berhasil mencapai target nilai yang ditetapkan. Angga sangat antusias dengan “permainan” ini.
Para pembaca yang budiman. Sampai sejauh ini saya yakin anda kini pasti mengerti bahwa setiap anak punya potensi untuk menjadi jenius. Hanya saja yang berpengaruh besar, selain kondisi hardware, adalah OS dan software yang terpasang di komputer mentalnya.
Anda mungkin bertanya, “Apakah OS yang paling baik untuk menjalankan komputer mental kita?”. OS yang paling ciamsor atau ciamik soro adalah Konsep Diri Positif. Penjelasan mengenai Konsep Diri dan proses pembentukannya saya jelaskan di buku-buku yang saya tulis.
Contoh software yang saya maksudkan antara lain adalah teknik menghapal. Selama ini anak (kita) tidak pernah diajar cara atau teknik menghapal yang benar, yang sesuai dengan prinsip kerja pikiran dan memori. Yang terjadi selama ini adalah anak “dihajar” untuk menghapal begitu banyak materi tanpa tahu caranya.
Baru-baru ini saya meminta seorang anak SD kelas 5 untuk menghapal 20 kata acak. Setelah dicoba selama dua menit anak ini hanya mampu menghapal 5 kata. Inipun tidak secara urut. Maklum, software untuk menghapal yang ia gunakan adalah peninggalan jaman pra sejarah, sudah sangat kuno. Setelah saya jelaskan cara menghapal yang benar dan saya tuntun, dalam waktu yang sama, dua menit, anak ini mampu dengan sempurna menghapal 20 kata itu. Orangtua si anak yang menyaksikan demonstrasi ini sampai terkaget-kaget, nggak percaya dengan apa yang mereka saksikan.
Contoh lain? Minggu lalu, saat saya memberikan seminar bagi sekitar 2.000 orangtua, murid dan guru, saya mengajukan satu pertanyaan yang mengagetkan mereka, “Bapak dan Ibu, apakah mungkin anak TK B akhir atau SD kelas 1 awal, diajar tabel perkalian, misalnya perkalian 9, selama hanya 2 sampai 5 menit, dan anak mampu mengingat 9×1 sampai 9×10 dengan sempurna, untuk selamanya?”.
Semua yang hadir menggelengkan kelapa eh? kepala mereka tanda bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Baik guru maupun orangtua berkata, “Untuk perkalian 9, ini diajarkan di kelas 3, Pak. Nggak mungkin bisa dikuasai anak TK B hanya dalam waktu 2 sampai 5 menit”. Mengapa mereka berkata tidak mungkin? Karena software matematika mereka tidak memungkinkan hal ini terjadi.
Saya lalu mengajarkan caranya hanya dalam waktu 1 menit, karena mereka adalah orang dewasa. Setelah itu banyak yang berkomentar, “Wah, ternyata gampang banget. Saya nggak nyangka kalau ternyata hal ini bisa dilakukan. Coba dulu waktu saya kecil sudah mengerti cara ini, pasti matematika menjadi begitu mudah dan menyenangkan”.
Kecanggihan software yang terpasang sangat menentukan prestasi yang dicapai seseorang. Ibaratnya, jika kita menggunakan program WS 5.0 (Word Star) dan MS-Word 2003, hasilnya pastinya akan berbeda. Mengapa? Karena MS-Word jauh lebih canggih dari pada WS.
So, pastikan bahwa kita sering meng-upgrade brain software kita. Kalau perlu, misalnya ada software baru yang lebih canggih, kita harus meng-uninstall software lama yang telah kita gunakan selama ini dan menggantinya dengan software baru yang jauh lebih unggul kinerjanya.