Tantangan Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19

sumber gambar : https://www.suara.com/video/2020/02/09/120000/sutrisna-wibawa-rektor-selebgram-diminta-ngusir-jin-oleh-mahasiswanya

Oleh : Prof. Dr. Sutrisna Wibawa

Meski masih dalam suasana Work From Home (WFH) tidak menyurutkan untuk saling berbagi dalam memikirkan Pendidikan. Profesor Dr. Sutrisna Wibawa, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, dengan gaya yang supel, nyedulur, dan sedikit kocak mampu memberikan pencerahan kepada sekitar 60 orang yang tergabung dalam vicon. Ikatan Guru Indonesia (IGI) DIY memfasilitasi sharing Pendidikan ditengah Pandemi Covid-19.

Sebagai insan pembelajar dan sekaligus sebagai guru, tentu merasa ada sedikit kaget dengan adanya WFH gara-gara pandemic virus corona. Hampir semua guru dipaksa memberi materi pelajaran melalui media on line. Sebuah kegiatan yang sebenarnya tidak dirancang sebelumnya. Bagi Sebagian guru yang telah lama berkenalan dengan media on line, tidak begitu bermasalah. Bahkan, dengan semangat kebersamaan, guru tersebut memberi beberapa tips agar guru lain yang belum familier dengan kegiatan on line, dapat memberikan pelajaran kepada siswa lewat on line.

Generasi Z merupakan generasi yang akan dibicarakan. Sebab mereka ini sebagai generasi yang akan datang, dan kehadiran mereka merupakan bagian dari kita. Sebagai siswa maupun sebagai mitra dalam belajar. Mereka memiliki ciri : peralihan dari Generasi sebelumnya yang sudah mengenal terlebih dahulu tentang komputerisasi. Pola pikirnya cenderung serba instan. Kehidupan mereka cenderung bergantung pada teknologi, dan mementingkan media sosial.

Disamping itu, kita juga mengenal budaya sosial. Saat ini kita berada pada suasana era disrupsi atau society 4.0. Budaya yang lebih dikenal dengan Information social, atau abad informasi. Di sisi lain, era disrupsi sebagai dasar pijakan untuk masuk ke ruang society 5.0. Karekateristik utamanya adalah : penggunaan teknologi canggih, robit, computer, artificial intelligent dan big data. Kegiatan kehidupana mereka dijalankan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.

Dari gambaran seperti itu, sebenarnya tugas guru tak berbeda jauh dari yang selama ini dilakukan yaitu mengajar dan mendidik. Hanya sistimnya berbeda. Transfer ilmu untuk mencapai Intelegence Quotient. Sedangkan mendidik, yang hendak kita capai adalah Emotional Quotient, Spiritual Quotient serta Adversitas Quotient.

Mengajar adalah kegiatan dimana transfer ilmu berlangsung. Caranya bisa bertatap muka secara langsung atau dengan media lain seperti internet. Namun untuk mendidik? Tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi, bila benar nantinya bahwa kegiatan sekolah akan mengurangi tatap muka.

Untuk itu guru perlu mengembangkan bagaimana seorang siswa membutuhkan sesuatu. Posisi guru bisa jadi sebagai fasilitator. Karena setiap pembelajar yang otonom tidak akan selalu bergantung pada guru dalam belajar. Andai guru tidak meningkatkan kompetisinya, bisa jadi siswa tidak akan membutuhkan guru tersebut.

Apalagi bila keadaan sudah mencapai bahwa siswa sudah merasa bahwa dirinya bagian dari suatu kelompok, dan berinteraksi dalam kelompok itu. Artinya, proses pembelajaran harus mampu memupuk interaksi kolegialitas dan saling support.

Pada akhirnya, tak ada pilihan lain bahwa seorang guru harus menyesuaikan dengan keadaan sesuai dengan karakter yang telah ditunjukkan society 5.0. Itu saja tidak cukup. Guru harus berperan aktif dalam lingkungan. Bahkan bila perlu membentuk pembelajaran yang diinginkan zaman.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *