Oleh : Muh. Akmal Ahsan (Mahasiwa pascasarjana UIN Prodi Pendidikan)
Setiap orang yang kuliah memiliki tujuannya masing-masing, ada yang melanjutkan pendidikan karena disuruh orangtua, beberapa atas inisiasi diri sendiri, ada pula yang sekadar mengisi kekosongan. Semua orang memiliki tujuannya masing-masing, tapi saya kira kita sepakat bahwa tujuan paling fundamental dari sekolah dan melanjutkan kuliah adalah demi mendapatkan keahlian mencari penghasilan. Itu terlihat materialitis sekali, tetapi percayalah, materi sangat berpengaruh ke(pada kesadaran dan penciptaan kebahagiaan kita kelak.
Sejak kecil, saya memang bercita-cita menjadi pendidik. Dulu saya tidak pernah membayangkan bahwa bercita-cita tak sekadar berangan-angan. Ketika membayangakan menjadi guru, saya selalu terinspirasi dari kegigihan Ibu saya yang seorang PNS, beliau bekerja dari pagi sampai siang mengajar banyak orang, termasuk kala itu mengajar saya sewaktu menduduki bangku sekolah dasar.
Saat belajar di SMA, pada program magang yang setiap tahun diadakan sekolah, saya selalu memilih lembaga pendidikan dan kampus untuk tujuan magang. Dari sana saya kian terinspirasi oleh bakti dosen dalam mengajar Mahasiswa. Pada hari-hari setelah kelulusan, Bapak hendak menunjukkan arah dengan kuliah di jurusan psikologi, tapi saya menolak dan memilih pikiran sendiri, sesegera mungkin melanjutkan kuliah di Yogyakarta, tentu mengambil jurusan pendidikan. Saya menikmati perjalanan kuliah selama 3,8 tahun lamanya, lulus dengan IPK yang memuaskan dan pengalaman yang cukup, bahkan melanjutkan studi S2 di Universitas Islam Negeri.
Disinilah saya mengalami ambiguitas akut, kontradiksi pikiran mengemuka. Saya tidak menyesal menjadi Mahasiswa pendidikan, namun tampaknya menjadi guru tidak saja membuat kita stagnan dalam soal ekonomi, tetapi untuk menempuh karir menjadi gurupun bukan perihal mudah.
Anda tidak percaya?. Mari kita analisis: pertama, untuk menjadi seorang guru anda harus menyelesaikan kuliah selama kurang lebih 4 tahun lamanya. Apakah selepas itu anda sudah pasti diterima? Tidak. Anda selalu diperhadapkan pada dua pilihan, menjadi honorer atau mendaftar PNS, pada dua pilihan tersebut, anda berkompetisi dengan ratusan ribu orang yang berkerumun ingin menjadi bagian dari PNS, jika tidak, nasib anda tetap sama, menjadi guru honorer yang gajinya pas-pasan.
Kedua,saat melamar menjadi dosen di Universitas, sertifikat kelulusan dan gelar S. Pd tidak begitu saja menjadi jaminan anda akan diterima kampus. Anda dituntut bersaing dengan orang lain yang berasal dari jurusan yang berbeda-beda, bisa ditebak hasilnya, kampus lebih mempertimbangkan calon dosen pada keahliannya masing-masing, anda mungkin memiliki sertifikat dan legitimasi gelar sarjana pendidikan, namun universitas lebih memilih lulusan ekonomi untuk menjadi dosen di fakultas tersebut, sekalipun mereka tidak pernah belajar mengenai kurikulum, metode pembelajaran, media pembelajaran dan subtansi mata kuliah yang anda selesaikan selama studi pendidikan.
Ketiga, saat menjadi pengajar anda menemui hidup yang dilematis, tuntutan ekonomi untuk menghidupi keluarga tampak tidak senada dengan gaji yang diberikan oleh lembaga pendidikan. Anda mulai sadar, ada banyak hal yang tidak terpikirkan saat berkhayal untuk menjadi guru dan dosen.
Dilema kuliah pendidikan. Saya pikir ada banyak sekali yang mengalaminya, tetapi tidak sanggup mengartikulasikannya dengan baik. Ini adalah hal yang wajar, apalagi bagi kita yang memiliki banyak program dan tujuan-tujuan hidup yang besar. Guru “pahlawan tanpa tanda jasa”, itu kalimat paling klise dan seakan menjadi pembenaran untuk melegitimasi hidup seorang guru yang selama ini kontraproduktif, khususnya dalam soal ekonomi.
Semua fakta dan analisa yang saya dalami kian membenarkan pikiran saya belakangan ini, bahwa dalam menunjang hidup, khususnya pada tuntutan karir dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, menjadi guru dan dosen saja tidak cukup. Seorang sarjana pendidikan harus memiliki keahlian yang lain, misalnya keahlian membangun usaha, atau menjadi peneliti produktif, pendakwah, mungkin penulis yang ahli. Pekerjaan sampingan akan sangat membantu seorang sarjana pendidikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sebab sekali lagi, menjadi sarjana tidak memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan hidup bahkan kebahagiaan diri dan keluarga.
Sebab itulah, atas kesamaan nasib, saya merekomendasikan para guru dan dosen untuk bereksplorasi lebih luas, memperdalam keahlian dan mencari softskill pembantu lainnya. Bagi kita yang sedang mencari jalan menjadi dosen dan guru, beberapa waktu kosong bisa dimanfaatkan untuk membina keahlian yang lain, misalnya penguasaan bahasa, penggunaan teknologi informasi, ikut dalam seminar ekonomi dan hal-hal lain yang dapat menunjang keahlian sebelum benar-benar diterima lembaga pendidikan menjadi seorang pengajar.
Untuk para pengajar yang sudah lama berada dalam lembaga pendidikan, tidak ada yang salah dengan menambah akivitas diluar kegiatan aktif mengajar di sekolah atau kampus. Membangun usaha dengan modal gaji yang selama ini didapatkan dari lembaga pendidikan bisa jadi adalah pilihan yang tepat. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan membina keahlian menulis. Ini tidak hanya berpotensi menguntungkan secara ekonomi, namun jua dapat membantu penyebaran ide, gagasan dan pengelaman keguruan. Kemampuan menulis dapat mewujud buku yang dapat dijual di dalam pasar ide.
Akhirnya, saya ingin katakan, menjadi guru memang merupakan tugas mulia, namun ada banyak hal yang mesti dipikirkan selain mengajar. Kita bisa memulai banyak aktivitas dari sekarang, tidak saja untuk mengajarkan banyak hal kepada orang lain, namun mula-mula dengan menjadikan diri dan keluarga berdaya, khususnya berdaya dalam hal finansial. Maka bergeraklah, perluas cakrawala, kembangkan kreativitas dan terus produktif, dengannya semoga hari-hari depan, kualitas guru tidak saja diukur dengan kemampuan retoris, tetapi contoh teladan bahwa kita mampu memberdayakan diri sendiri.
Sumber link : http://pundi.or.id/2020/04/08/1545/