Lucera, Italia

kontributor foto : Rizqi Adilla Lukmana

Oleh : Rizqi Adilla Luqmana (Guru di SMP Negeri 8)

Minggu, 20 September 2015. Sebenarnya ini perjalanan yang tak direncakan di sela-sela aktifitas saya sebagai mahasiswa Awardee beasiswa Erasmus Uni Eropa di sebuah Universitas di kota Foggia, Italia Selatan. Saya diajak oleh dua teman dekat saya asal Cina dan Turki untuk “cari angin di kota pinggiran”. Walaupun kami bertiga berbeda jurusan di kampus, namun kami sudah dekat sejak awal masa orientasi mahasiswa luar negeri. Karena hanya kami bertiga yang mengenakan jilbab dan kami memiliki satu mata kuliah yang sama, yaitu Italiano atau Bahasa Italia.

“Meeting  point di stasiun kereta ya,” isi pesan singkat pagi itu.

Naik kereta? mau kemana kita?

Entahlah, saya hanya mengikuti ajakan mereka karena memang sedang bosan dengan rutinitas di musim gugur. Kali ini, rasanya lama sekali musim gugur yang tak kunjung berganti dengan musim dingin. Musim yang paling saya tunggu-tunggu setiap tahunnya.

Benar saja. Mempercayai sepenuhnya tentang traveling kepada teman-teman saya ini memang tak pernah mengecewakan. Kami menuju Lucera, satu kota kecil di dekat Foggia, yang mempunyai sejarah peradaban islam di Italia selatan. Tiket kereta Foggia-Lucera hanya 1,4 euro. Perjalanan setengah jam kamipun sampai disana. Kami menuju hotel terdekat dari stasiun,  dan bertanya ke tourist information center. Kami menggali info tentang tentang daerah itu. Petugas di bagian receptionist yang baik hati itu langsung memberi kami peta kota lengkap dengan situs-situs  kebudaya yang akan segera kami kunjungi.

Tujuan pertama adalah Teatro Garibaldi yaitu sebuah gedung pertunjukan seni khas Romawi klasik yang berada di kota.   Karena hari minggu masih pagi, tempat masih ditutup. Akan dibuka kembali selepas siang, tepatnya jam lima sore. Mungkin tidak adanya pertunjukan hingga siang hari, agar warga focus beribadah. Sedikit kecewa, sore nanti tak mungkin sempat kesana lagi karena kami berencana tidak menginap.

Sambil melihat peta dan menengok kanan kiri mencari arah menuju tempat selanjutnya, seorang bapak yang ramah menghampiri kami dan langsung mengajak ngobrol dengan bahasa itali. Kami tidak terlalu paham karena bahasanya sangat fasih, cepat dan dengan aksen lokal.  Vocab Bahasa Inggris beliau minim. Namun beliau berusaha menjelaskan kalau dia adalah seorang muslim asal Maroko yang menetap di Lucera. Dia bertanya kepada kami, apakah kami bertiga ini muslim dan bisa Bahasa Arab?, Dia menekankan agar ngobrolnya lancar. Beliau bertanya seperti itu pasti setelah melihat kami tiga turis berjilbab yang kebingungan mencari arah.

“Ya tentu saja kami muslim Alhamdulillah” jawab kami.

Untunglah teman cina kami ini tahu Bahasa Arab (entah berapa Bahasa yang dia kuasai, disitu saya kagum dengan ragam bahasa yang dia miliki sekaligus. Aku iri karena tidak bisa berbicara dengan Bahasa Arab). Saya dan teman dari Turki yang tidak tahu Bahasa Arab juga hanya bisa mendengarkan mereka bercengkrama sambil menanti untuk  ditranslate ke English.

Namanya Pak Husein, ia adalah seorang guru karate dan sangat baik hati menawarkan diri menemani kami berkeliling sambil menghabiskan waktunya sebelum  beliau pergi mengajar. Sambil berjalan dan menikmati kota, Pak Husein menjelaskan panjang lebar tentang sejarah kota kecil ini.

Lucera dulunya adalah kota yang ditinggali sekitar 3000-an penduduk muslim Utsmani. Mereka membangun kota lengkap dengan masjidnya. Jumlahnya tak sedikit, dan tersebar dipelosok di kota ini.

Setelah berjalan tak begitu jauh, tibalah kami di Duomo Lucera atau cathedral terbesar di wilayah ini. Beliau menunjukkan  pintu-pintu megah katedral yang sebelumnya bernuansa Arabic. Tampaknya sedang ada perbaikan gereja karena terlihat material bangunan disekitanya. Setelah cukup lama pendukuk muslim menetap, pada tahun  tahun 1300-an pasukan tentara Kristiani di bawah pimpinan Naples menguasai wilayah ini. Warga muslimpun terusir. Masjid-masjid diruntuhkan dan diatasnya dibangun Gereja-gereja. Seketika kota Islam ini berubah dan hampir  tak berbekas peninggalan nuansa islaminya. Hanya ada sebagian rumah2 yang terlihat masih berornamen penduduk masa itu. Tak banyak yang beliau critakan, selebihnya kami membaca sejarah kota ini lewat internet.

Dari Duomo kami berencana ke “Amfiteatro Romano” atau Gelanggang terbuka. Tempat ini merupakan salah satu yang gelanggang terbesar di wilayah Italia bagian selatan yang digunakan untuk pertunjukan. Teater terbuka untuk perayaan maupun pertandingan. Namun niat kami terhalang oleh cuaca yang tiba-tiba hujan dan kami harus berteduh.

Pak Husein pamit meninggalkan kami setelah memberikan nomer ponselnya. Dia berpesan sewaktu-waktu menghubunginya kapanpun jika mendapatkan kesulitan selama di Lucera atapun di Foggia.

Beliau segera berlalu. Kami bergegas menuju tempatnya bekerja sebelum hujan tambah lebat. Kami sangat berterimakasih karena beliau sudah mau menemani dan berbagi pengetahuan, semoga Allah selalu melindungi dan memudahkan urusannya.

Kami hanya terdiam menunggu hujan yang tak kunjung reda dan malah semakin melebat. Berteduh di sebuah garasi terbuka milik rumah warga di dekat Duomo.  Hujan pun reda dan hari sudah menjelang sore, kami hanya bisa mengunjungi satu tempat lagi agar dapat mencapai kereta terahir menuju Foggia.

Kamipun memutuskan pergi ke Castle of Lucera. Bangunan ini awalnya dibangun oleh Frederick II (1223-1229). Sebuah istana yang sangat mengesankan. Bangunan yang menghadap dataran padang luas Tavoliere di selatan Italia. Butuh berjalan agak jauh untuk mencapai tempat ini. Penjaga situs mempersilahkan kami masuk. Dari atas kastil nampak pemandangan yang indah membentang padang luas nan hijau.

Karena hari sudah menjelang sore kami pun bergegas. Sebenernya sedikit kecewa karena hujan membuat pergerakan kami lambat dan kamipun harus melewatkan kunjungan ke museum-museum lain atau bahkan hanya untuk duduk di kafe-kafe berornamen klasik untuk menikmati cappuccino dan pizza.

Sebuah hari yang sangat menyenangkan dan menambah pengetahuan, terutama tentang kehidupan penduduk muslim pada zamannya.

Tinggalkan Balasan