Perjuangan Nadiem Makarim adalah Perjuangan Kultur Start up Melawan Kultur Birokrasi

Minggu-minggu ini, hampir pasti Nadiem Makarim mengalami apa yang lazim disebut dengan “culture shock”, sebuah gegar budaya karena seseorang melakukan perpindahan secara dramatis ke sebuah dunia yang sama sekali berbeda kultur dan corak perilakunya.

Ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama : Nadiem sukses injeksikan kultur kerja start up yang agile, innovative dan cekatan.

Kemungkinan kedua : Nadiem tak berdaya digilas kultur birokrasi yang super kompleks dan penuh belantara regulasi yang mbulet.

Dunia pendidikan yang berkualitas tak pelak merupakan elemen fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa.

Namun dalam kompetisi daya saing kualitas pendidikan, peringkat Indonesia secara global masih berada pada level yang termehek-mehek.

Di dunia ada sebuah gold standard untuk mengukur kemajuan kualitas pendidikan anak-anak sekolah. Namanya PISA atau singkatan dari Programme for International Student Assessment (PISA) – sebuah peringkat resmi yang diusung oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

PISA ini mengukur level skor science, math dan reading comprehension dari anak-anak sekolah di seluruh dunia.

Dalam rilis peringkat PISA yang terakhir, peringkat Indonesia hanya ada di nomer 62 dari 72 negara. Kalau dalam ujian sekolah mungkin sama dengan nilai E, dan tidak lulus.

Peringkat Indonesia kalah jauhhh sekali dengan Singapore yang berada pada peringkat 1 dunia; atau dengan Vietnam (peringkat 22), Malaysia (peringkat 44) dan Thailand (peringkat 55).

Tragisnya adalah peringkat buruk itu terjadi saat anggaran pendidikan Indonesia naik berlipat dibanding lima tahun lalu. Anggaran pendidikan Indonesia saat ini adalah Rp 495 TRILIUN – sebuah angka yang super masif.

Dengan kata lain, dana gila-gilaan hampir 500 triliun itu nyaris sama sekali tidak berdampak efektif bagi peningkatan kualitas pendidikan di tanah air.

Ibaratnya, sudah diberi dana masif yang harusnya cukup buat cetak SDM sekaliber Lionel Messi atau CR7, ternyata hasilnya hanya pemain sekelas Atep atau Andik Virmansyah 🙂 🙂

Paradoks pemborosan dana hingga hampir 500 triliun itulah salah satu tantangan paling berat yang akan dihadapi oleh Nadiem Makarim sebagai CEO Kemendikbud yang baru.

Lalu apa yang selayaknya dilakukan oleh Nadiem dengan kultur start up-nya? Metodologi start up apa yang layak diinjeksikan untuk mengatasi tantangan birokrasi dalam dunia pendidikan?

Berikut dua langkah krusial yang kiranya bisa dijalankan.

Start Up Step #1 : Tetapkan KPI yang Terukur dan High Impact

Yang mengejutkan dari angggaran nyaris Rp 500 triliun buat bidang pendidikan adalah, 60% habis untuk gaji dan tunjangan guru. Artinya hampir Rp 300 triliun adalah buat gaji dan tunjangan.

Gaji guru memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Seorang guru sekarang bisa mendapatkan gaji Rp 10 juta hingga Rp 15 juta/bulan di berbagai kota di tanah air.

Namun ternyata peningkatan gaji yang cukup signifikan itu tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kualitas murid-muridnya. Terbukti dengan peringkat PISA yang stagnan dan termehek-mehek.

Kenapa begitu? Sebab selama ini memang tidak ada KPI (key performance indicators) yang terukur dan high impact yang dikaitkan dengan tunjangan/bonus guru.

Tunjangan hanya dikaitkan dengan sertifikasi kompetensi (yang acap hanya formalitas); namun TIDAK DIKAITKAN dengan indikator yang jauh lebih powerful : yakni kemajuan kualitas kepandaian murid-murid peserta sekolah.

Itu ibarat seorang salesman yang selalu mendapatkan bonus, tanpa melihat apakah dia mencapai target pejualan atau tidak. Sebuah kondisi yang sungguh absurd jika dilihat dalam kacamata “high performance organization”.

Maka Nadiem harus segera menerapkan prinsip yang sangat lazim dalam dunia start up business ini : yakni tetapkan target KPI yang terukur, dan jika tidak tercapai, maka tunjangan guru tidak akan diberikan.

KPI tentang skor kualitas murid harus mendapatkan bobot yang paling besar, sebab inilah esensi pendidikan.

Indeks atau skor kualitas murid harus disusun secara independen dan terukur – serta sebaiknya mengacu pada standar dunia yang dipakai oleh PISA/OECD.

Cukup aneh jika selama ini para guru tidak punya KPI peningkatan skor kualitas murid-murid. Tanpa KPI ini, maka berapapun gaji guru dinaikkan, maka tidak akan berdampak nyata bagi peningkatan level kualitas murid. Dan anggaran ratusan riliun bisa hilang sia-sia.

Start Up Step #2 : Scale Up Kesuksesan Sekolah dan Guru SEJATI

Para pakar tentang change management menulis : saat mau melakukan transformasi yang sukses, sebaiknya Anda juga fokus pada sukses yang sudah ada. Lihatlah bright spots, dan kemudian duplikasi success spots ini ke tempat lain.

Maksudnya begini. Dari ribuan sekolah dan jutaan guru yang ada di tanah air, pasti ada di antara mereka yang sudah terbukti sukses menaikkan skor kualitas para muridnya secara konsisten.

Nadiem bisa memanfaatkan keahlian dia menggunakan kekuatan big data : lacak dan cari sekolah-sekolah atau guru yang sukses membuat muridnya makin pintar. Maksudnya murid yang tadinya kurang pintar setelah sekolah di tempat tersebut, atau setelah diajari guru tersebut, kemudian menjadi pintar.

Jadi sekolah atau guru yang hebat itu adalah yang seperti itu. Murid yang dulunya kurang cerdas lalu dibikin cerdas. Dari murid bodoh ditransformasi menjadi murid pintar.

Jadi sekolah hebat itu bukan sekolah-sekolah favorit yang selalu terkenal itu. Sekolah favorit ini ilusi. Kenapa? Sebab hampir 100% murid sekolah favorit ini dulunya memang sudah pintar. Sudah pintar dari sononya. Jadi muridnya pada jadi pintar BUKAN karena sekolah dan gurunya. Maka kehebatan sekolah favorit itu adalah kehebatan fatamorgana.

Sekolah dan guru dengan KEHEBATAN SEJATI adalah yang murid-muridnya waktu masuk adalah barisan murid dengan nilai NEM alakadar-nya, namun kemudian pelan-pelan bisa diubah menjadi murid yang pintar. Ini baru sekolah dan gurunya yang hebat.

Nah melalui kekuatan big data, Nadiem bisa mengidentifikasi tipe sekolah dan guru yang seperti itu. Merekalah para “bright spots”. Merekalah sekolah dan guru sejati : yakni yang bisa dengan konsisten mengubah murid agak bodo atau murid kualitas standar menjadi murid yang pintar dengan kualitas istimewa.

Temukan sekolah dan guru dengan tipe seperti itu. Dengan bantuan teknologi dan big data, harusnya Nadiem bisa menemukannya.

Tugas dia berikutnya adalah : pelajari apa yang membuat sekolah dan guru ini bisa meraih sukses sejati seperti itu? Apa key success factors-nya?

Setelah ketemu, maka langkah berikutnya adalah SCALE UP guru dan sekolah sejati ini.

Scale up adalah istilah dalam dunia start up. Artinya adalah temukan kesuksesan kecil yang sudah terbukti berhasil. Lalu scale up atau kembangkan sukses ini ke skala yang lebih luas dan menyebar ke semua tempat.

Jadi ringkasnya : melalui kekuatan big data, Nadiem perlu segera menemukan “sekolah dan guru yang meraih sukses sejati” (bukan sekolah favorit fatamorgana), lalu pelajari pola suksesnya.

Lalu scale up sekolah dan guru sejati ini ke seluruh wilayah di Indonesia. Tularkan sukses sekolah dan guru sejati itu kepada ribuan sekolah dan jutaan guru lainnya.

Proses scale up kesuksesan bukan hal yang mudah. Namun Nadiem sudah terbiasa melakukan proses scaling up dalam dunia start up. Harapannya dia juga bisa sukses mereplikasi kehebatan sejati sekolah dan guru yang dia temukan; ke semua tempat di seluruh Nusantara.

DEMIKIANLAH dua langkah krusial yang barangkali bisa membantu proses transformasi dunia pendidikan di tanah air.

Selamat bekerja pak Nadiem. Selamat berjuang demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik.

sumber tulisan : http://strategimanajemen.net/2019/10/28/perjuangan-nadiem-makarim-adalah-perjuangan-kultur-start-up-melawan-kultur-birokrasi/

 

Tinggalkan Balasan